Bulan Terbelah di Langit Amerika


(Dok.Pribadi)

Would The Word Be Better Without Islam?

Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Segala puji bagi Allah atas segala rencana yang ditimpakan kepada hambaNya. Sungguh, tak ada yang lebih indah selain daripada kejutan-kejutan takdir yang Allah berikan. Betapa ia berupa hadiah yang tak terlupakan sepanjang hidup.
Demikianlah kata pertama yang dapat saya tulis usai membaca novel Bulan Terbelah di Langit Amerika. Luar biasa perjalanan takdir yang dilalui oleh seorang Hanum dalam menyelesaikan tugas liputannya. Berawal dari tugas pembuatan artikel untuk sebuah koran di Wina yang sebentar lagi ‘menutup diri’, menjadikan Hanum memperoleh tugas berat. Menggiringnya menyiapkan jawaban paling mengagumkan dalam menjelaskan kepada dunia bahwa tragedi 9/11 bukanlah Islam satu-satunya pemicu.
Meskipun saya cukup terlambat mengomsumsi novel ini, setidaknya keterlambatan saya bisa terbalas hari ini.

Oke, lanjut…

Would The Worl Be Better Without Islam? Demikianlah tema yang harus ditulisnya.

Tak perlu saya panjang lebar mengurai novel ini, menceritakan perjalanan panjang Hanum beserta Rangga menguak tragedi Word Trade Centre pada 11 September 2001 (9/11). Bila ingin tahu silakan langsung baca bukunya. :D

Dalam tulisan singkat ini, saya hanya ingin menuliskan kekaguman terhadap keajaiban-keajaiban yang digariskan Allah kepada kita, hambaNya, terkadang kita terlebih dahulu berperasangka buruk terhadap suatu keadaan yang tak seusai hati, merutuk sepanjang hari. Padahal bisa jadi besok lusa keadaan yang dikutuki menjadi berkah, hadiah untuk hidup kita. Sejatinya novel ini membuka mata dengan mengajarkan saya untuk tidak segera berperasangka buruk terhadap keadaan, takdir. Takdir yang telah ditetapkan olehNya untuk kita.

“…Ikhlas terhadap takdir yang telah digariskan Tuhan, setelah usaha yang maksimal. Harapan besar yang kandas, belum tentu sungguh-sungguh kandas. Tuhan tak akan mengandaskan impian hambaNya begitu saja. Dia tak akan menaruh kita dalam kesulitan yang tak terperi tanpa menukarnya dengan kemuliaan pada masa mendatang…” (Petikan dialog Phillipus Brown)

Akankah dunia lebih baik tanpa Islam? Tentu saja, tidak. Sebaliknya dunia akan carut-marut dan bisa jadi rembulan di atas sana tak ingin membuka mata. Sedari awal membaca novel ini saya tentulah telah memiliki jawaban yang kokoh, bahwa dunia tidak akan baik-baik bila Islam tak ada. Namun, peristiwa-peristiwa yang datang kepada Hanum seolah harus terbentur, saling bertumbukan. Tentu saja sebagai seorang Muslim kita memilih jawaban Tidak, lantas bagaimana dengan orang-orang yang membenci Islam? Apakah dunia masih tetap baik-baik saja tanpa Islam? Terlebih dengan adanya tragedi WTC 9/11 di Amerika, Islam menjadi amat tercoreng. Betapa islamphobia melanda masyarakat Amerika.

Masuk dalam bab enampuluh, hati saya semakin berdetak menunggu kesimpulan akhir dari pertanyaan tersebut. Sejak awal Hanum dan Rangga membuat penasaran saya semakin akut. Azima Hussein, Ibrahim Hussein, Jones, Anna, Phillipus Brown, tokoh-tokoh ini semakin menjadikan saya merana, rasanya lembar-lembar terakhir buku ini begitu lamban terbaca. Meskipun demikian, saya tetap sabar melahapnya terlebih sosok Ibrahim Hussein membuat saya terpesona. Betapa dia mampu menunjukkan kepada dunia bahwa dia termasuk satu di antara Agen Muslim Sejati.

“Ibrahim mengajari saya sesuatu. Usaha dan berupaya sekuat raya, dalam keadaan apapun, hingga Tuhan melihat kesungguhan itu dan mengulurkan tanganNya. Ibrahim mengajari saya sesuatu yang bernama ikhlas…”

Lembar berikutnya tersingkap satu persatu, hingga pada tangan saya terhenti bergerak. Pengakuan Phillipus Brown dan Jones sempurna mencipta manik di mata saya.

“…jika masih ada yang berpikir dunia ini lebih baik tanpa kehadiran Islam di dalamnya, merekalah para teroris yang sesungguhnya…” Ucap Phillipus Brown.

“…Aku harus menerima kenyataan, tragedi itu adalah tragedi umat manusia. Baik Muslim maupun bukan, semuanya tersakiti. mungkin, sekarang ini muslim justru yang paling dikhianati…” Jones berhenti dan mendesis, ada lirih terdengar dalam suaranya.
Ah, betapa indah penuturan dari seorang Phillipus Brown. Saya jadi terkesima. Pun kebencian Jones terhadap Islam menguap, seolah pergi tanpa pernah ingin kembali.

Tiada kemuliaan tanpa Islam.
Tak sempurna Islam tanpa syariah.

Tak hanya sampai di situ, lembar-lembar terakhir novel ini semakin mengagumkan. Luar biasa! Alur yang indah, dengan menampilkan keajaiban rencana-rencana Allah. Tampaknya tak cukup puas bila hanya menulisnya, barangkali mesti dibaca berkali-kali.
Terkadang saya berpikir, bagaimana rasanya mendapati keajaiban takdir seperti Hanum? Tentulah, bahagia tiada terkira, selain mengucap syukur berjuta kali.

Tragedi WTC 9/11 terpaksa meminta bulan terbelah untuk kali kedua. Tertawa sekaligus memasang wajah muram melihat perilaku manusia-manusia. Entahlah, apakah wajahnya kini masih bersuka atau berduka.
Masih penasaran, atau teramat penasaran dengan novel ini? Tuntaskan segera rasa penasaranmu dengan membacanya!

Komentar

  1. Good comment (y)
    Memang tidak ada yang lebih indah dari kejutan-kejutan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Novel ini memberikan banyak pelajaran kepada pembaca bahwa apa yang digariskan Allah belum tentu hal buruk bagi kita. Terima kasih untuk tulisan Khaeriyah tentang buku ini, semoga membuat teman2 yang lain terpikat untuk membacanya :)

    BalasHapus

Posting Komentar