Apresiasi Puisi


Menerawang Kearifan yang Tertanam dalam Puisi To Lengo To Kipa
Oleh: Khaeriyah Nasruddin

Aura modern semakin meluas sampai ke Indonesia. Begitu juga dengan dunia sastra.  Dalam dunia sastra begitu jarang kita temui sebuah tulisan atau karangan yang menggunakan bahasa daerah. Dalam masyarakat saja sangat minim ditemui membaca buku, yang ada mereka lebih tertarik dengan sebuah tontonan seperti layaknya sinetron. Dengan minimnya suatu karangan atau tulisan yang menggunakan bahasa daerah ditakutkan hal itu sedikit-sedikit akan menghilang.
Salah satu aura meredup kemudian mulai dikobarkan adalah puisi “To  Lengo To Kipa” Puisi yang dipublikasikan di Fajar, rubrik budaya Minggu, 19 Februari 2012. Puisi tersebut ditulis oleh seorang guru bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Pinrang. Sebut saja dia Baharuddin Iskandar. Puisi yang dia tulis mengangkat latar daerahnya sendiri, yaitu kabupaten Pinrang. Baharuddin menghadirkan sebuah puisi Bugis yang selama ini sangat jarang ditemui bahkan bisa dihitung jari di era berkembangnya bahasa globalisasi.
Ditengah maraknya kesibukan yang dialami penulis, dia masih menyisahkan waktu duduk manis di depan laptopnya untuk menulis sebuah puisi. Mungkin saat ini kebanyakan kaum-kaum remaja khususnya remaja Bugis—Pinrang tidak mengetahui asal usul daerahnya sendiri. Begitu juga dengan saya. Namun, dengan adanya puisi ini kaum-kaum remaja Pinrang dapat mengenal lebih dalam asal usul daerah tanah kelahirannya. Pahlawan To Lengo To Kipa, yang menjadi tokoh utama dalam puisi ini menjadi sesosok pahlawan baru dari Tanah Sawitto. Yang selama ini namanya belum pernah diagung-agungkan.

Deretan-deretan bait pertama puisi ini sempat menyentuh hati saya.
Tettoka ri bittara'e, mitti wae mata, mate ele’i addatuangengku mangitto aro, nakenna’i sussa wanuaku” yang berarti saya berdiri di bibir langit, air mata jatuh menitik, Rajaku pergi di pagi hari, membuat dada pedih karena tanah kelahiranku merasa keresahan. Selanjutnya pada bait berikutnya “Dara sitetti La Paleteang mencaji wae mata” setetes darah LaPaleteang menjadi air mata.
Dapat disimpulakan To Lengo To Kipa, dua orang pria perkasa—pemberani dari Tanah Sawitto ini begitu hormat terhadap Rajanya, yaitu LaPaleteang. Keduanya memiliki semangat juang yang luar biasa untuk memberikan kebebasan kepada rajanya dari tangan raja Gowa. Impian keduanya untuk membebaskan LaPaleteang dari tangan raja Gowa akhirnya berhasil. Ketika perjalanan mereka berakhir di tempat tujuan, LaPaleteng menatap perubahan terhadap Tanah Sawitto-Pinrang. LaPaleteang melontarkan sebuah kalimat, seperti yang dikutip dari puisi To Lengo To Kipa: "Pinra, pinra, tongeng ni wanuaku" atau berubah, berubah, sudah tanah kelahiranku. Dari asal kata “Pinra, pinra” inilah yang menjadi nama bagi kota Pinrang.
Walaupun pembaca mengalami kesulitan dalam memahami setiap kata yang disodorkan oleh penulis karena bahasa yang digunakan sulit dijangkau oleh pembaca terlebih lagi kaum muda. Tapi, penulis begitu pintar mempermainkan bait-bait puisinya sehingga mampu memberikan sugesti kepada pembaca. Sungguh menakjubkan.
Awalnya, jika pembaca melihat judul puisi ini pembaca akan mengabaikannya- hanya sedikit saja orang yang dapat memahaminya karena bahasa yang dipakai menggunakan bahasa Bugis.
Kedua, rasa penasaran yang mengendor-ngendor hati akhirnya membuat pembaca ingin membacanya. Pembaca akan merasa penasaran dengan judul yang disuguhkan penulis. Berbagai rasa ingin tahu akan menghampiri pembaca. Mereka akan bertanya-tanya apa yang dimaksud To Lengo To Kipa? Siapa To Lengo To Kipa ini? Apakah mereka seorang pahlawan?
 Ketiga, pembaca akan menyernyitkan keningnya karena jenis bahasa yang sulit dipahami. Namun, beberapa orang yang memahami bahasa yang disodorkan oleh penulis mereka akan menghembuskan napas lega disertai geleng-geleng kepala. Setelah membaca puisi ini pertanyaan-pertanyaan yang sempat berkecamuk dibenak pembaca akan terjawab. Mereka akan mengetahui bahawa To Lengo To Kipa ini juga merupakan seorang pahlawan.
Selanjutnya, dalam puisi terkandung banyak nilai kearifan bahasa sehingga puisi ini berperan sebagai penyadaran. Selama ini sudah banyak kaum-kaum remaja yang sudah tidak mau ambil pusing alias mereka sudah tidak mau lagi belajar tentang bahasa daerahnya sendiri. Namun, adanya puisi ini dapat memberikan pelajaran baru bagi pembaca. Tetapi, tidak sebagian pembaca yang dapat mengetahui setiap deretan kata dari puisi yang disodorkan oleh penulis. Adakalanya, jika sebaiknya penulis memberikan arti dari kata-kata tersebut. Agar pembaca bisa memahaminya.

Oleh karena itu, dengan tidak menyia-nyiakannya kearifan yang disiratkan oleh penulis, mari kita menjunjung tinggi apa yang menjadi peradaban lokal namun disamping itu tetap mengikuti zaman modern ini sehingga terjadi kombinasi  yang baik serat tidak adanya yang merasa terlengserkan antara kebudayaan lokal dengan globalisasi masa kini.



Komentar