Pergi (tak) membawaku pulang.




Jauh hari, sewaktu aku masih memikirkan pertimbanganku itu; meninggalkanmu. Apakah harus segera kulakukan atau mempertahankanmu atau tetap berlaku sebagaimana biasanya atau mendiamimu sepuas hatiku atau meninggalkanmu selamanya dan berikrar untuk tidak mengganggu hidupmu.

Dan tibalah masa itu. Hari di mana semua harus diakhiri dengan keputusan matang, disertai perenungan panjang dan kututup dengan kekuatan maha kuat, untuk hatiku agar tidak tanggul. Melupakanmu!

Bahkan kunamai keputusan itu salam perpisahan. Aku telah menyiapkan semuanya. Barangkali kau tidak berpikir bagaimana telah kurencanakan dengan baik sebelumnya. Bahkan kutipan kata-kata perpisahan telah sempurna kukumpulkan. Bila Tania mampu mengubur perasaannya terhadap Danar, mengapa tidak kulakukan juga padamu. Bila Rosaline merelakan Romeo, mengapa aku tidak memilih langkah itu juga.

Memilih jalan yang sama mereka lalui; pergi. Rasanya tidak perlu lagi ada alasan konyol untuk menghentikan semuanya.

Bila kau menuntut, bagaimana dengan semua hari-hari yang berlalu, kenangan-kenangan kita yang masih utuh. Semuanya dan semuanya. Akan kujawab dengan satu kalimat. Semua itu sebatas masa lalu. Bukankah kau yang telah mengajariku tentang kata melupa. Tentang bertahan dalam kekecewaan.

“Lupakan semua tentangku,” semasa kau mencetuskan kalimat itu, tepat di hari itu juga kutulis baik-baik dalam ingatanku. Itu adalah keinginan terbesarmu. Dan aku berjanji akan menunaikannya. Tidak peduli seberapa besar sakit itu. Tidak peduli seberapa besar aku harus menikam hatiku berkali-kali. Jelasnya aku menginginkan kau tenang.

Perlu kutegaskan pada diriku sendiri, semuanya harus kuakhiri! Dengan penerimaan baik. Hidup adalah setumpuk penerimaan dari takdir. Baik pun buruk.

Bahwa hidup harus menerima. Penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami. Pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan—Tere Liye

Kalimat ini telah mendewasakanku. Aku aku telah menghidupinya sebaik-baiknya.

Tak tahu berapa lama pertemuan kita harus terhenti. Lima tahun, sepuluh tahun, duapuluh tahun, limapuluh tahun dan seterusnya. Biarkan takdir menenuntun langkah kita. Pun bila kita harus bertemu atau kusebut saja terpaksa bertemu menurut versiku, berlakulah sebagai mestinya.

How do you say goodbye to someone you can’t image living without?
I didn’t say goodbye, I didn’t say anything, I just walked away—Surat Panjang Tentang


Komentar

  1. Dan teringat kalimatmu bahwa seseorang yang pergi adalah orang yang kecewa.
    Sudah sampai di titik itukah perasaanmu? Kecewa?
    Haaa ...

    BalasHapus

Posting Komentar