Mengais kabarmu yang lesap


(Dok.pribadi)

Jal, bagaimana kabarmu hari ini? Kabar ibu, ayah serta saudara-saudaramu, sehatkah mereka? Bertahun-tahun aku tak pernah peroleh kabar darimu. Aku tak pernah mengingat jelas bagaimana mulanya kita berteman dan menjadi akrab. Jelasnya aku masih ingat kebiasaan kecil kita, setiap kali kau berkunjung ke rumahku seringkali pula kita menghabiskan waktu bersama. Oya, kabar sungai di kebunmu itu, banyakkah yang berubah? Sungai itu tempat kita menghabiskan masa liburanmu. Kita berlari-lari dan rumput-rumputnya yang menjalar tak pernah segan menarik kakiku, dan kau seketika menjadi pahwalanku. Memancing di sana, kau memakai alat pancing modernmu yang sering kau pamer dan aku memakai alat pancing buatan ayahku dengan bangga. Kita berdua duduk di bawah bayang-bayang daun kelapa sawit sambil mencelupkan kaki ke air. Kadang kau sengaja menciprat bajuku, kadang juga kau menceburkan diri ke sungai itu, berenang dan mencari tude-tude. Tapi aku tak pernah mau menerima ajakanmu untuk mengajariku berenang. Aku tau kau bisa jadi jail padaku. Aku lebih memilih memancing dan kau sendiri berenang. Dengan begitu kita membuat area tersendiri, kau tak boleh mendekati tempatku memancing. Namun, kau melanggarnya dengan berpura-pura menyelam lalu tiba-tiba berdiri di samping pancinganku. Aku akan melemparimu beberapa buah kelapa sawit yang matang. Melihat wajahku cemburut kau akan berhenti menggangguku dan kembali berenang-berenang.

Bila kita mendengar suara ayahku berteriak aku akan bergegas berkemas, sementara kau masih tetap mengurung diri dalam sungai. Kau selalu tak pernah ingin sebentar berada di tempat itu. Melihatmu begitu, aku akan melemparmu lagi dengan buah sawit dan mengancammu akan melempar satu persatu tude-tude yang kau kumpulkan. Kau mengalah dan melangkah malas.

Ibuku paling sering menggoreng ikan-ikan hasil pancingan kita, dan kita makan bersama. Dan ayahmu selalu pura-pura mengomelimu bila melihat bajumu basah. Kau menujukku dan mengatakan akulah penyebabnya. Aku menggigit bibir dan berjanji akan membalasmu bila kembali lagi.

Rasanya aku terlalu panjang bercerita tentang masa kecil kita. Aku jadi penasaran bagaimana keadaanmu hari ini. Apakah rambutmu masih berbentuk cepak, kau selalu mencaciku bila kukatakan aku suka melihat pria dewasa berkaca mata. Atau, jangan-jangan kau menjadi seperti pria idamanku. Mana mungkin. Kau tak pernah sudi. Tinggi badanmu mengalami perubahan berapa senti? Tinggi kita selalu sepantaran.

Sebetulnya banyak hal yang ingin kutanyakan padamu. Aku berkali-kali mencarimu lewat dunia maya, mencari facebookmu, twittermu, nama perusahaan ayahmu, menelpon telpon rumahmu tetapi tak pernah berhasil. Barangkali kau telah mengganti semuannya. Memang jarak kita jauh, ditambah lagi kita telah terpisah bertahun-bertahun. Bisa jadi kau telah lupa padaku, lupa pada teman kecilmu yang seringkali kau jahili. Bagaimanapun itu aku selalu percaya padamu bahwa kau tak akan pernah melupakan kenangan masa kecil kita di sungai itu. Setiap kali aku selalu berharap untuk bertemu denganmu. Hingga detik ini pun harapanku selalu sama setiap tahunnya, bertemu denganmu. Aku berharap untuk kembali bisa menemukanmu, Jal.

{hanya sepenggal kisah ini yang begitu utuh tersimpan}
06 januari 15.

Komentar