Barisan 16
Agustus
(Dimuat di Harian Fajar:
edisi Sabtu, 18 Agustus 2012)
Aku menoleh. Menangkap tatapan sinis.
Bibir tersenyum tipis. Garis alis mengkerut. Semuanya terpancar dari wajah
mereka. Apa penyebabnya?! Entahlah, aku tak tahu. Gerak-gerikku menjadi pusat
perhatian. Apalagi jika sedang berbicara dengan Daffa. Mereka tak ingin
memalingkan pandangan. Juga memicing mata. Satu kata saja enggan terlontar dari
mulut-mulut itu. Mereka bengong. Dan, aku bingung.
“Daffa, hari ini kamu jangan bolos lagi.
Ikut latihan paskibraka, yah!”
“Aku tidak bolos. Cuma belakangan ini
aku pergi ke suatu tempat bersama seseorang.”
“Seseorang! Kamu ke mana, Daffa?”
“Dia membawaku ke tempat peristirahatan
orang-orang. Katanya, beberapa hari lagi aku juga akan melepaskan lelah di
tempat itu.” Ungkapnya merenung.
Aku sibuk dengan imajinasiku sendiri.
Aku tidak mengerti dengan arah pembicaraannya. Tempat peristirahan orang-orang.
Tempat seperti apa itu? Apakah tempat itu berlatar tanah merah!? Yang
berselimut kembang. Di mana ada angin berseru. Menjatuhkan daun dari
tangkainya. Lalu menerbangkan ke udara. Daun itu akan meliuk-liuk dengan pelan
hingga tiba di dasar tanah. Tak ada suara. Hanya sepi bergelayut. Tapi, kawanan
burung yang hinggap di pohon akan menyumbangkan suara merdunya. Menyanyi riang.
Dan, ia akan memecahkan keheningan yang tercipta.
“Sepertinya kau telah menebak tempat
itu.”
“Maksud kamu?”
“Tempat itu persis yang kau pikirkan.
Hanya semilir angin yang selalu dirasa ketika berada di sana. Kau tak akan
menemukan seseorang.”
“Sudah kau jangan membuatku pusing.”
Ucapku melengos.
Dia membuang pandangan ke arah
orang-orang yang sedang asyik bergurau. Aku kembali menoleh ke arahnya.
Seketika kami saling memandang. Tertangkap tatapannya kosong. Matanya sayu.
Meredup juga gelap. Seolah di dalam sana tak ada kehidupan. Rupanya pucat.
Senyumnya kecut. Sama sekali bukan Daffa yang kukenal. Keceriannya melenyap.
Gundah menghinggap. Entah, apa yang ada
dipikirannya. Mungkinkah dia kurang sehat?
“Kau masih ingat saat kita bermain
sepeda bersama di tempat ini?”
“Dan, kau terjatuh lalu menangis.”
Seketika wajahnya merekah bahagia. Kami sama-sama tertawa. Di lapangan ini adalah
tempat permainan kami semasa kecil.
“Lihat dia macam orang gila saja. Berbicara
sendiri.” Celoteh seseorang.
“Mungkin dia bicara dengan tembok atau
hantu.” Tukasnya.
Dia menunjukku. Terusik jadinya. Marah
menjiba rasa. Mereka benar buta. Tidak lihatkah aku sedang bersama sahabatku,
Daffa! Batin bergumam. Menuntut jangan berkata seperti itu. Mulut mereka makin
pedas. Hatiku panas. Tak sudi dikatakan gila. Apalagi mengatakan Daffa hantu.
Aku benci. Gemuruh bergejolak. Aku berdiri ingin menyuruh mulut-mulut itu
berhenti bicara.
“Sudah kau jangan lakukan hal bodoh
itu.” Kata Daffa.
“Tapi, mereka mengatakan kau hantu. Aku
tidak terima.”
“Mereka yang buta. Sirik melihat kita
berdua.”
Mereka benar-benar buta. Juga sirik
melihat kita. Yang saling melepas rindu. Sudah beberapa hari aku tak
bercengkrama dengan Daffa. Untuk ini lebih baik kunikmati kebersamaanku
dengannya. Toh, tidak bermanfaat juga jika kulabrak mereka satu persatu.
Biarkan mereka menjadi penonton. Dengan mulut yang kocar-kacir mengumpat.
Nanti, saja adegan selesai kuperankan akan kuhampiri mereka.
“Arib, apa yang kaulakukan di situ? Ayo,
barisan 17 harus bersiap.” Panggil seseorang.
“Daffa, sekarang waktunya kita tunjukan
kepada orang bahwa mimpi kita telah tercapai.”
“Kau saja yang pergi. Biarkan aku
melihatmu berjalan bersama mereka.”
“Kau tidak boleh begitu. Kau mau
menjadikan barisan 16 Agustus?”
Dia terdiam. Merenung dengan
perkataanku.
“Baiklah, aku tidak mau hal itu menjadi
sejarah pertama.” Ucapnya tersenyum.
Kami berdua telah siap. Hari ini sejarah
dalam hidup akan tertambah. Balutan baju putih paskibaraka melekat di tubuh.
Dasi merah menggangtung di leher. Sarung tangan. Semuanya telah dikenakan.
Pasukan pengibar bendera berjalan mantap. Dada berdegup. Hati meregup. Kaki menjelma
gugup. Senyum mengincup. Kulirik wajah Daffa berseri. Duh, ini kebanggaan dalam
asa! Kami bahagia. Inilah impian yang telah dikejar.
***
“Ini akan menjadi sejarah terbaru. Untuk
saat ini barisan 17 tidak ada.” Sahut seorang penonton. Telinga menangkap.
Sigap sekali ia mendengar. Buka mata kalian! Daffa, berada di sampingku. Lihat
betapa gagahnya dia. Batin terus bergumam.
“Seandainya Daffa hadir dalam dalam
barisan ini.”
“Apa maksud kalian? Daffa berada di
antara kita. Kau tidak lihat atau buta seperti orang-orang itu.” Ucapku berang
sambil menunjuk.
“Sadar, Arib. Daffa telah pergi!”
“Siapa bilang? Tadi aku ketemu dengan
dia. Kami sempat bercerita.”
“Itu hanya halusinasimu saja. Kau tidak
ingat beberapa hari ini dia telah meninggal karena kecelakaan?”
Aku tak percaya. Kenyataan ini sulit
diterima. Berita kematian itu bagai menggiris luka. Sepi melayat. Sedih meraup
bahagia yang baru saja terjadi. Mataku pedas. Diam-diam bulir beling terjatuh
dari kelompaknya. Tak sudi ia bersembunyi. Nestapa segera kucecap. Semuanya
telah pudar. Aku kehilangan seorang sahabat. Tidak! Tidak! Jangan jadikan aku
seperti ini.
Pinrang, 2012.
Komentar
Posting Komentar