Hijriah Berkabung





Hijriah Berkabung
Oleh: Khaeriyah Nasruddin

Ambo, hari ini aku datang untuk bertemu denganmu,
memberitahukan kepadamu bahwa aku sudah merasakan cinta itu.
Tetapi, ketika aku telah tiba di bibir pintu yang terkuak lebar, tak kudapati dirimu yang segera berlari memelukku. Ada banyak wajah-wajah sendu yang menatapku terpaku berdiri. Terdiam dalam bisu yang meringkusnya. Inikah sebuah cerita yang pernah kau kisahkan kepadaku, ambo? Sebuah kisah yang akan menyentakkan hatiku. Hingga aku tertunduk lemah menyaksikannya.
***
“Sudah jangan  menangis terus, Nak!”
“Ambo tanganku berdarah..” Ucapku sambil tersedu.
“Mari kuobati, Nak.” Ambo membersihkan lukaku dengan membaluti sebuah kain yang dirobeknya. Pelan dan penuh hati-hati dia lakukan. Sesekali aku meringis.
“Bagaimana? Masih sakit, Nak?”
Aku memberi isyarat. Menggeleng. Ambo mengusap air mataku. Kulihat dia tersenyum. Sangat bahagia. Aku yang duduk di sampingnya turut tersenyum melihat ekspresinya. Apalagi melihat giginya yang sudah ompong.
“Bagaimana cara Ambo untuk menghilangkan rasa sakit di sikuku?”
“Itu karena sebuah cinta, Nak!” ujarnya mengelus kepalaku.
“Cinta? Apa itu Ambo? Apakah seperti bunga mawar itu?” tunjukku ke arah tanaman mawar.
“Bukan, itu sebentuk rasa Nak. Rasa yang tinggal dalam hati, di sini.” Ambo menepuk dadanya dengan pelan.
“Di hati. Rasanya manis seperti coklat ya Ambo?”
“Tidak selamanya ia manis, terkadang juga pahit.”
“Ambo, di mana aku bisa dapatkan cinta?” tanyaku ingin tahu.
“Nantilah, saat kau sudah besar. Cinta itu bisa datang kapan saja. Diam-diam, ia bisa singgah di hatimu tanpa sepengetahuanmu. Saat kau sudah merasakannya, kau akan merasa bahwa dunia ini sangat indah. Kau seolah melayang, terbang tinggi hingga ke udara.” Ambo melayangkan tangan layaknya pesawat sedang terbang. Aku terkesima dengan penuturan ambo tentang cinta.
“Seperti itukah, Ambo?”
“Iya!” jawab Ambo mantap.
***
Tanganku mengambil sebuah buku di rak toko buku. Tiba-tiba saja dari samping sebuah tangan juga berniat mengambil buku yang sama. Kaget. Buku itu kulepas. Seketika aku menoleh. Seseorang itu mendekat, menghampiri.
“Eh, maaf.”
“Tidak apa-apa.” Kataku datar.
“Kenalkan aku Hanbal.” Dia mengulurkan tangan.
“Jinang.” Kusambut uluran tangannya. Sekilas tatapan kami beradu. Ada sesuatu yang aneh kurasa saat menatap matanya. Tak tahu apa itu. Aku seolah digiring menyusuri lorong tak berujung. Tapi, ada sebuah ketenangan yang kurasa dari binar matanya. Hangat genggaman tangannya membuat jantungku bergetar.
“Eh, kamu mau beli buku itu ya?” dia membuka pembicaraan.
“Iya. Suka dengan tulisan Fadh Gjibran?”
“Sangat. Saya suka dengan ide-ide tulisannya.”
Satu jam penuh kuhabiskan waktu di toko buku bersamanya. Hanya membahas seputar penulis yang kami kagumi. Sejam rasanya tidak cukup. Waktu bergulir begitu cepat. Kami berdua lumayan akrab. Ternyata kami memiliki hobi yang sama.
***
Singkat saja pertemuanku dengan Hanbal. Dari situlah kami mulai sedikit dekat. Membuat janji untuk bertemu di toko buku atau di pantai Losari. Hingga suatu sore, saat cahaya senja mulai menghambur, dia mengungkapkan isi hatinya. Aku merasakan sebentuk rasa yang pernah ambo katakan. Dunia tampak berubah begitu indah. Penuh dengan ribuan bunga yang bermekaran. Aku seolah melayang. Melambung tinggi ke udara. Terbang bersama burung-burung menyusuri angkasa.
“Jinang, maukah kau menikah denganku?” tanyanya sambil memberiku sekuntum mawar.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, kuanggukkan kepala sebagai tanda untuk menyiakan. Kuraih mawar yang dia berikan kepadaku. Kami berdua tersenyum.
“Tapi, sebelumnya aku akan kembali ke Bandung.”
“Berapa lama kamu di sana?” nada suaraku agak merubah.
“Cuma dua minggu saja. Setelah itu aku akan kembali lalu melamarmu.”
“Baiklah, tapi sebelum kau ke Bandung kita akan ke Pinrang untuk bertemu dengan Amboku.”
“Aku setuju, Jinang.”
***
Senin, 12 November 2012.
Malam ini lapangan Lasinrang terlihat ramai. Jalan-jalan dipenuhi oleh para peserta pawai. Kerlap-kerlip lampu bertebaran di mana-mana. Ada banyak motor lalu-lalang hingga membuat jalanan di sekitar lapangan Lasinrang macet. Tak mau ketinggalan para remaja juga turut andel untuk meramaikan tahun baru hijriah. Para peserta pawai mulai dari anak TK, SMP, SMA, hingga kakek-nenek. Acaranya dimulai saat jam 19.00 wita. Satu barisan, dua orang siswa memegang baliho besar bertulis SMA Negeri 1 Pinrang. Ada 6 buah obor yang dipegang. Aku membayangkan ambo berada di antara para penonton itu.
Setelah dua jam terkena macet akhirnya kami sampai juga di rumah ambo. Aku agak kaget, depan rumah ambo ramai dipenuhi orang. Aku tetap melangkah dengan perasaan yang sulit untuk ditebak. Sesuatu yang aneh menjiba rasaku. Pintu terkuak seolah mengisahkan lara. Dadaku berdegup kencang saat berdiri di bibir pintu. Beberapa orang tengah duduk bersila.
“Jinang!” seru bapak lemah.
Beberapa pasang mata menatapku sendu. Bapak menarik tanganku, lalu menuntunku ke kamar ambo. Hanbal mengikuti dari belakang.
“Pak, di mana Ambo? Ini aku membawakan dange untuknya.”
Bapak hanya terdiam. Mulutnya seolah tak mampu digerakkan.
“Ambo, pergi ke lapangan Lasinrang ya nonton pawai?” lanjutku.
Ambo memang suka sekali nonton pawai saat tahun baru Hijriah. Terkadang aku ikut menemaninya. Aku paling suka menemani ambo keluar. Ada banyak kisah yang dia ceritakan untukku. Bosan sama sekali tak akan kutemui ketika mendengarnya berkisah. Bahkan, terkadang meminta kembali agar dia bercerita.
“Jinang, ke mari Nak!” pinta ibu. Gurat sedih terpampang jelas diwajahnya. Matanya sembap. Seakan dia tadi telah menangis.
“Ibu, Ambo di mana? Biasanya kalau melihat aku datang Ambo akan berlari memelukku.”
Dengan nada berat ibu menjawab, “Ini Ambo, Nak..” tunjuknya kepada orang yang tengah terbaring. Terbungkus kain putih dengan tangan bersedekap di dada.
“Tidak! Ini bukan Ambo. Ibu pasti bohong kan?” tanyaku tidak percaya.
“Ke mari, mendekatlah! Coba tatap wajahnya lekat-lekat.”
Aku mendekat. Menatap wajahnya secara saksama. Gurat wajahnya, ditambah sepotong senyum miliknya yang beku. Semuanya kini menyadarkanku bahwa yang terbaring kaku di depanku adalah ambo. Kenyataan ini membuatku tersungkur tak berdaya. Sulit untuk diterima. Mataku merah. Kelopak mataku terasa berat. Tak kusadari hujan telah jatuh membanjiri pipiku. Membentuk sungai kecil.
Baru saja ingin kusampaikan kepada ambo bahwa telah kurasakan cinta yang pernah dia ceritakan kepadaku. Hanbal, dia yang kumaksud. Orang yang telah memperkenalkanku tentang sebuah cinta. Berhasil menjamah hatiku. Dan, tidak lama lagi akan menjadi suamiku. Tapi, sayang kabar itu tidak mampu kuceritakan kepada ambo. Percuma saja. Ambo tidak akan menggubris ceritaku. Senyum pun tidak, karena memang senyum miliknya sudah beku. 

Pinrang, 2012

Komentar