Kertas-Kertas yang Terbang



Kertas-Kertas yang Terbang
Oleh: Khaeriyah Nasruddin dan Hendra J Hamzah
Tak seharusnya lagi kubawa kertas ini ke rumahnya. Ia tentu akan mengulum lagi senyum di bibirnya. Itu satu isyarat bahwa Daniyah akan segera takluk olehnya dan ia akan segera takluk oleh Daniyah. Sedang aku, setelah ini mungkin tak akan terperhatikan lagi.
***
Kutemukan satu buah ketulusan di binar matamu. Kau menyapaku dengan dua ulur tanganmu. Padahal itu pertama kali kita bertemu. Lebih tepatnya, kau yang menemukanku. Dalam rautmu, ada rasa iba yang menggantung.
“Maaf! Mari kubantu!” katamu.
Kau meraih tubuhku. Lalu dengan tangan kananmu, kau ambil sapu tangan di dalam tas merah. Kau membersihkan tetes-tetes darahku yang perlahan membeku. Terakhir, lukaku kau balut dengan sapu tangan tadi. Terlalu hati-hati kau melakukannya.
“Kau boleh memanggilku Daniyah, ujarmu sesaat setelah sampai di rumahmu.
Daniyah? Ah, itu agak mirip dengan nama manusia yang berkelamin lelaki. Tapi, sudahlah. Tak jadi masalah. Yang penting kau masih selalu tersenyum. Daniyah! Aku tak tahu bagaimana harus kurangkai rumpun kata untuk melukis kebaikanmu. Aku bersyukur hari ini kau diperuntukkan bertemu denganku.
“Kau bisa tinggal di sini bersamaku.”
“Terima kasih atas kebaikanmu.” Lirihku. Pelan.
Itu malam pertama aku berada di rumahmu. Aku bak tamu agung bagimu. Kau menyediakanku tempat tidur. Memberikanku makan. Kau menyentuhi tubuhku, mengelus lembut kepalaku, mendekatkan aku ke dadamu hingga irama jantungmu kudengar jelas. Namun, degup jantungku masih lebih cepat, Daniyah.
***
Aku tetap tak setuju kau bersama dengannya. Ada cemburu menguap di dadaku. Menyala. Berkobar-kobar. Adakah yang rela berdiri di tengah-tengah dua insan yang saling menatap tersenyum sedang di dadanya memuai cemburu? Kurasa tidak. Lalu kertas ini?
Tak ada untung yang kuperoleh dari membawa kertas ini. Lebih baik kuurungkan niat untuk melangkah ke sana. Aku memejamkan mata. Sekilas bayang-bayang senyummu berkelebat. Menggoda.
“Kau lihat pohon linden itu?” Tanyamu tadi sambil menunjuk sebatang pohon di kejauhan sana. Pertanyaan itu selalu kau ulang tiap kali memintaku terbang mengantarkan kertas yang kau ikatkan di kakiku.
Aku menoleh. Memerhatikan dengan teliti pohon yang kau maksud.
“Rumahnya di dekat sana. Jika kau ingin menemuinya, gampang saja. Sisa mencari pohon itu.” Lanjutmu, kemudian mengelus kepalaku.
Aku menatap ke depan. Terbang mengepak sayap. Demi melihat pohon linden yang sudah berada dekat. Aku memacu kekuatan untuk terbang lebih cepat lalu hinggap pada salah satu dahannya. Di antara daun-daun yang meranggas, di situlah aku mengintip dia. Hanya untuk memastikan apa lelaki yang kini menjadi pujaan hatimu itu ada.
Dia selalu berdiri di dekat jendela setiap aku tiba. Aku tahu dia sedang menunggu. Menunggu  kertas titipanmu ini.
***
Kenyataan ini sulit untuk kuterima. Apalagi saat melihat kau begitu bahagia membaca potongan puisi yang dia tulis. Getar cemburu dalam dadaku semakin memuncak. Aku sakit melihatmu seperti itu. Tidak bisakah kau membaca raut wajahku, Daniyah!
Kukepakkan sayap dengan berat hati. Masih dalam keadaan bimbang. Dari awal aku tidak rela jika kau harus jatuh dalam pelukannya. Membayangkan kau akan bersama dengannya merupakan momok yang menakutkan. Tidak! Aku tidak pernah mengharapkan itu terjadi. Aku tidak rela, Daniyah!
Braaak ..!! Oh, tidak. Sayapku!
Mungkin karena terlalu memikirkanmu, Daniyah. Benda-benda di hadapanku tak kuhiraukan. Aku terjatuh. Kucoba kembali mengepakkan sayap. Namun, tak bisa. Terlampau sakit rasanya.
***
Semenjak berkenalan dengan dia, kau tak segan menghabiskan waktu untuk melahap beberapa buku kumpulan puisi. Padahal yang aku tahu, kau begitu benci dengan membaca. Tapi, tidak untuk saat ini. Dia mengubah dirimu.
“Kawan, ini surat ke-5 yang dia tulis. Mendekatlah, akan kubacakan lagi isi suratnya!” pintamu.
Kasih itu adalah tentang jiwa-jiwa yang saling berpaham. Ia menangis dalam hujan. Marah dalam api. Tertawa kepadamu. Bagaimana menurutmu, Kawan?”
Ingin kukatakan, bahwa aku bosan jika setiap waktu kau selalu membacakan isi surat miliknya. Rasanya aku ingin menutup telinga. Tapi, tak bisa. Entahlah, mengapa demikian. Aku menjadi tidak berani menimpalmu. Biarlah aku menjadi pendengar yang baik untukmu, Daniyah!
***
Sayapku sudah tidak mampu membawaku untuk terbang. Mengepakkannya saja aku tidak bisa. Daniyah, maafkan aku tidak menjalankan tugasku! Rasanya aku putus asa. Tidak kuat jika harus melihatmu setiap hari selalu tersenyum. Dan, senyuman itu sama sekali tidak kau peruntukan untukku.
Aku tetap melangkah walau tak tahu arah mana yang akan kutuju. Aku bingung, Daniyah.
  “Kawan, jika berada di tempat ini kau harus hati-hati. Kau tidak tahu kapan bahaya akan mengintaimu!” jelasmu tersenyum.
Kata-katamu itu tergiang dalam benak. Kalut. Pikiranku tak menentu. Aku mencoba berbalik. Mencari tahu. Ternyata apa yang kau katakan benar. Sekarang aku telah berhadapan dengan makhluk bahaya. Ia telah memasang kuda-kuda. Bersiap untuk menerkam. Aku mundur. Ingin aku berteriak meminta tolong. Tapi, sepertinya mulutku kelu dan kerongkonganku serasa dicekik.
“Kau tahu bagaimana caranya bahaya itu memangsa? Ia mengendap-endap. Sangat pelan. Suara kakinya tak akan kau dengar. Ketika sudah mendekat, tanpa menunggu lama dia akan menerkammu, Kawan. Tapi, kau jangan takut aku akan datang menolongmu.” Lanjutmu kemudian mengelus kepalaku saat itu.
Aku memejamkan mata. Lidahku terus berujar memanggil namamu. Aku percaya kau akan datang. Suaranya makin mendekat. Beberapa langkah lagi kurasa ia akan siap menerkam. Aku bergeming. Telah pasrah, Daniyah. Kau tak akan datang seperti yang kau katakan. Aku sudah siap jika harus mati hari ini. Dengan mata yang masih terpejam kurasakan diriku terangkat. Mungkin, tidak lama lagi rohku akan terpisah.
“Malang benar nasibmu, Kawan. Tak pernah kuduga kau akan jadi begini. Aku janji tak akan memintamu lagi ke sini.”
Telingaku menangkap suaramu. Kaukah itu, Daniyah? Tidak mungkin. Itu pasti hanya ilusi.
“Kau tidak boleh mati, Kawan!” ucapmu kembali. Aku membuka mata. Daniyah??!!

Komentar