Sweet Pain of Love
Bola-Bola Gerimis
Oleh;
Khaeriyah Nasruddin
“Maaf,
Rose. Aku sudah tidak bisa!” ucapnya pada hari itu.
Kau
masih setia berdiri di samping jendela. Dengan senyum mengincup. Tatap matamu
mengarah ke depan. Menatap gerimis yang jatuh. Gerimis, akankah ia membisikkan
desah suaranya yang masih tersisa? Tanganmu bergerak menghapus goresan nama
yang sejak tadi tertulis. Tetes gerimis menjatuhkan diri menyenggol tanganmu
dengan lembut. Kedua tanganmu meraup, mengumpulkannya jadi satu, kemudian kau
menggenggamnya erat. Hingga sekumpulan tetes air yang telah terkumpul kembali
terpisah.
Berkali-kali
kau mengibas kehadirannya dalam ingatanmu. Tapi, tetap tak berhasil. Dia selalu
lolos mendatangkan bayangnya. Mengusik ketenangan itu agar kembali terurai.
Saat gerimis datang menyapa, kau akan berlari menuju jendela. Sering sekali kau
habiskan waktumu hanya untuk menatap bola-bola gerimis itu. Kau seolah
menantikan sesuatu darinya. Akankah, tiap gerimis tiba ia datang bersama
kenanganmu yang lalu?
“Untukmu
gadis pencinta mawar!” dia mengulurkan setangkai mawar untukmu.
“Terima
kasih. Dari mana kau tahu aku mencintai mawar?”
“Itu
tidak penting.” Dia kemudian beranjak berlalu, tanpa meninggalkan sepotong
kalimat.
***
Hari
kedua!
Setelah
hari pertama, kini tepat hari kamis ditemani dengan turunnya gerimis. Kau
kembali dipertemukan dengan dia. Dia berdiri tepat di sampingmu. Sama dengamu,
juga memilih bunga. Kau memerhatikan gerak-geriknya. Sesekali kau berusaha
tersenyum, menatap malu-malu ke wajahnya. Namun, sayang dia tidak menggubrismu.
Kau sedikit menjauh. Mungkin, karena merasa kesal.
“Hai,
gadis pencinta mawar!” sapanya.
Kini
kau yang membalas, enggang kau menoleh. Seolah tak sadar kini dia telah berada
di sampingmu.
“Ini
sebuah mawar untukmu.” Kembali dia mengulurkan bunga yang sama.
Kau akhirnya terusik karena kehadirannya. Kau
menatapnya, agak beku. Diiringi senyuman tipis. Namun, kau merasakan sedikit
ketenangan saat berada di sampingnya.
“Terima
kasih.” Ucapmu melengos kemudian pergi.
“Hey!
Kau mau membantuku memilihkan bunga untuk ibuku?” panggilnya seketika.
“Baiklah,
dengan senang hati.”
Kau
terlihat begitu akrab dengan dia. Ternyata kau supel dalam bergaul. Berkali-kali
kau tertawa. Asyik sekali kau bercengkerama dengan dia. Ketika dia menyodorkan
sebuah bunga yang menurutnya sangat indah, kau malah menggeleng. Memberikan
isyarat bahwa pilihannya tidak pas. Kau mengarahkan pandangan ke bunga mawar.
Selalu saja bunga mawar menjadi pilihanmu. Tangannya bergerak bersamaan
denganmu meraih bunga itu. Sekilas tatapanmu beradu. Ini kali pertama kau
berani menatap lekat matanya. Dug! Degup jantungmu mulai bergerak. Menggetarkan
serambi dan biliknya. Sepertinya rasa itu diam-diam menyelundup masuk melalui
celah hatimu yang kosong. Berjalan pelan, kemudian menjamah dengan isi hatimu.
“Aku
tahu pilihanmu pasti bunga ini.”
“Kau
bilang ibumu suka dengan bunga yang tangkainya berduri dan berwarna terang. Aku
yakin dia pasti suka bunga ini.”
“Oke,
baiklah kalau menurutmu ini bagus aku akan beli.”
“Ya, semoga
ibumu menyukainya. Aku permisi dulu.”
“Tunggu!”
“Ada
apa? Kau masih perlu bantuan?”
“Kalau
kau ada waktu besok, aku tunggu kau di tempat ini.”
“Aku
tidak janji.”
“Aku
berharap kau mau berjumpa dengan ibuku.”
“Ibu?”
kau mengerutkan alis.
“Kau
cukup datang ke sini besok.” Kembali dia mendahuluimu untuk pergi. Kau bengong.
Masih tetap berdiri melihat dia berlalu.
***
Kenangan
itu masih berbekas. Kau akan selalu mengenangnya, begitu binar matamu
mengatakannya. Hari itu, tepat pada bulan pertama perkenalanmu dengannya. Dia
mengajakmu bermain di rumahnya. Ibunya ingin bertemu denganmu, itu yang sering
dia ucapkan kepadamu. Dan, betapa bahagianya kau saat dia melamarmu di depan
ibunya. Kau tak mampu berkata apa. Kau hanya bisa terdiam, dengan mata yang
memancarkan binar bahagia.
Kau
masih ingat saat dia melingkarkan cincin di jari manismu. Kemudian menciumnya
lalu memelukmu. Degup dalam dadamu semakin berdebar. Rasa itu benar-benar telah
menyebar ke seluruh hatimu. Ia berhasil menabur benih cinta. Hingga merekah. Bibirmu
menampakkan senyum yang selama ini tersembunyi oleh luka yang kau alami.
Sungguh, kau tampak cantik saat tersenyum.
“Rose,
Tante titip Zaky. Cintai dia dengan sepenuh hatimu!” bisiknya pelan.
“Maaf,
Tante namaku Alika bukan Rose.”
“Tapi,
Zaky yang mengatakan namamu Rose. Dia tidak pernah bilang kau Alika.”
“Itu
bukan masalah, yang penting kau tidak keberatan jika aku memanggilmu Rose.”
Tiba-tiba dia memotong pembicaraanmu.
***
Kamis,
gerimis lagi-lagi menemani harimu.
Dua
bulan setelah hari jadianmu. Kau dan dia tak pernah bersama, kau lost
contact. Kau kehilangan kabar tentang dia. Sudah banyak sms yang terkirim,
sudah belasan panggilan keluar yang kau ajukan. Namun, tetap sama. Dia enggang
membalasnya. Menelpon pun tidak, apalagi mengirim pesan.
Hari
itu kau putuskan untuk datang ke rumahnya. Tapi, apa yang kau dapat. Nihil!
Ibunya tidak memberikan informasi yang jelas. Dia cuma bilang Zaky keluar kota.
Dia terlalu sibuk sehingga tidak sempat memberimu kabar. Tidak mungkin, kau
menyangkal.
“Tante,
tolong katakan di mana Zaky?”
“Sekarang..
sekarang dia di Bandung Rose.”
“Tolong,
Tante jangan bohong. Kemarin aku bertemu dengan temannya, dia bilang Zaky
dirawat. Apa itu benar Tante?” kau memohon, memegang tangannya.
“Tante
sudah katakan Zaky lagi di Bandung Rose!”
“Baiklah
Tante. Besok aku akan ke Bandung menemui Zaky.”
“Rose!
Benar kau ingin bertemu dengan Zaky?”
Kau
mengangguk mantap.
“Tapi,
kau jangan marah sebelumnya.”
“Memangnya
ada apa Tante?”
“Nanti
kau akan tahu semuanya.”
***
Kau
melangkah sedikit ragu. Ini tempat asing. Tak pernah terlintas di benakmu Zaky
akan berada di tempat sesunyi ini. Garis wajahmu menunjukkan kebingunan. Namun,
kau tetap menenun langkah untuk bertemu dengan pujaan hatimu.
“Tante,
kenapa kita ke sini?”
“Katanya
kau ingin bertemu dengan Zaky.”
“Iya,
tapi tidak mungkin Zaky berada di sini. Zaky kan sekarang di Bandung.”
“Lupakan
soal itu. Rose, sekarang waktunya kau mengetahuinya. Itu Zaky!” tunjuknya pada
nisan yang bertulis nama Zaky.
Kau
menggeleng tidak percaya. Ini mimpi buruk. Kau berkali-kali menyangkal bahwa
semuanya hanya ilusi. Zaky tidak mungkin telah terkubur, yang tertera pada
nisan itu bukan nama Zaky. Gemuruh dalam harapan, berkobar. Membakar semua
tentang mimpi yang telah lama kau rangkai.
“Zaky
kau jahat!” ucapmu tersedu di sela tangismu.
“Kau
tega! Jahat, aku kira kau mencintaiku ternyata tidak. Kenapa kau lakukan ini?
kenapa?” lanjutmu.
“Rose,
maafkan Tante! Zaky tidak bermaksud melakukan ini terhadapmu. Dia tidak ingin jika
kau melihatnya pergi.”
“Zaky!!”
“Sayang,
Zaky saat mencintaimu dia selalu mengatakan hal itu kepada Tante. Dia ingin
sekali menikah denganmu. Namun, sebelum mimpinya terwujud ajal lebih dulu
menjemputnya. Sebenarnya dia telah lama menderita kanker otak. Tapi, dia
berusaha menutupinya. Dia tidak mau kau terlihat sedih jika mengetahuinya.”
Kedua
matamu berkaca-kaca mendengar berita itu. Hatimu sakit. Perih, berita itu
mengarak batinmu. Kidung kesedihan kini mengundang pilu. Kau telah mendamba
bahagia itu akan hadir mencecap kehidupanmu. Namun, untuk detik ini tidak.
Bahagia itu telah berlari menjauh membawa pujaanmu pergi. Derita itu telah
meraup semuanya. Bola-bola gerimis jatuh menyiram wadah hatimu yang pecah.
Gerimis turut hadir menggiring sakitmu.
Pinrang, 2012
Komentar
Posting Komentar