Kau, Aku dan Sebuah Pantai Tak Bertuan



Neena, aku ingin memanggilmu dengan nama itu. Tapi, kau menolaknya. Kupikir kita memang sama-sama lebih dulu jatuh cinta dengan nama Keenan. Apakah kamu juga jatuh cinta dengan pemilik nama itu? Aku tertawa menulis kalimat ini. Tentang siapa Keenan, tentang bagaimana dia itu tidak perlu kita tahu, cukup kita diam-diam meminjam namanya dari seseorang. Usahakan jangan sampai Dee tahu persoalan ini! Bila kita ketahuan kausiap kan ketika kita harus bermain sembunyi, berlari menghindari seorang bernama Dee, kau tak perlu letih sebab kecepatan lari kita tidak akan bertambah, kita cuma berlari persis ketika kau mengejarku di bibir pantai. Kita berdua cukup nakal. Menggunakan nama Keenan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Kau senang? Ini cukup menarik bukan, untuk kita nikmati. Apakah kau pernah berpikir bahwa pantaimu senang melihat kita sedang berkejaran di depannya? Apakah kau pernah menghitung berapa banyak jejak-jejak kaki yang kita tinggalkan di sana?


Kau mungkin tersenyum saat ini. Aku tidak tahu persis di mana kau duduk membaca tulisan ini, mungkin di balkon rumahmu sambil mendongakkan kepala untuk memastikan langit masih tersenyum kepadamu. Yang kuingat darimu malam ini adalah matamu. Seekor kunang-kunangku terperangkap di sana, dalam matamu. Aku pernah bertanya kepadamu mengapa kau begitu menyukai tempat ini, kau berkata ini adalah tempatmu menabung kenangan, kala kau rindu maka kau akan bertandang ke situ, melunaskan rindu-rindu yang memeluk pundakmu. Mendengar jawabanmu maka spontan aku berbicara bahwa aku ingin menjadi pantai.


“Mengapa?” di sela senyummu yang pecah alismu bertaut.


Sederhana saja alasanku, agar kau sudi mengunjungiku. Mungkin ada pertanyaan yang ingin kau ajukan, mengapa aku memilih menjadi pantai sementara tempatmu menyiapkan kehidupan-kehidupan lebih layak; pasir, riak-riak ombak, desiran angin dan.. jangan teruskan, aku tahu maksudmu. Aku tidaklah melupakan beberapa hal yang membuat pantaimu indah. Barangkali matamu, Riif. Bukan kau, tapi matamu yang menyukai memandang pantai itu, matamu menyimpan banyak potret-potret kehidupan yang berlalu beberapa tahun silam. Dan, aku ingin menetap dalam matamu. Aku ingin menikmati kehidupan yang disediakan oleh matamu.


Jika aku memilih selain pantai, apakah kau masih tetap mengunjungiku. Aku tidak yakin. Setiap kali kau berbicara aku selalu memandangmu, aku merasa bahwa kau sedang berbicara bersama pantai, bukan aku. Kau dan pantai sepertinya saling memiliki kedekatan, aku sendiri tidak mampu menjabarkan bagaimana kedekatan kalian. Bagaimanapun kedekatan kalian tetaplah selipkan aku di tengah-tengah kalian. Kau, aku dan pantai.


Apabila aku kelak menjadi pantai kau harus meluangkan waktu untuk mengunjungiku. Kapanpun, kau boleh menentukan hari apa. Aku merasa tidak memiliki banyak permintaan untuk menetapkan satu hari penuh atas kunjungan wajibmu. Barangkali seminggu sekali, sebulan sekali, tiga bulan sekali, atau setahun sekali. Asal kau benar-benar datang ketika aku merindukanmu.


Aku mencoba menerka bagaimana wajahmu ketika mengunjungiku nanti, kau melambai-lambai menyapaku, kau berdiri di depanku menampilkan senyum yang selama ini kutunggu lalu duduk menekuk lutut sambil bercerita seterusnya tanpa henti seolah kau tak pernah kehabisan bahan, dan memang kau enggan diam, maka biarlah aku terus mendengarmu.


Sebelum instrument Endless love berakhir, sekali lagi kuingatkan bahwa kunjungilah aku selalu, sebab dengan kunjunganmu akan membuatku bertahan, dan apabila kau tak datang dalam setahun maka kau yang memintaku untuk pelan-pelan meniadakan kehadiranku dalam kehidupanmu.


Komentar

Posting Komentar