Rindu menyamarkan kebencian

(Rindu-Tere Liye)
11.37 wita, siang..


(Dok pribadi)

Saya selesai membaca novel ini. Ada banyak pelajaran yang terkandung di dalamnya, dan hal itu tentunya juga memberikan nafas baru bagiku usai membacanya. Novel ini menyediakan lima cerita dari masing-masing tokoh yang berbeda, dan tokoh-tokoh ini pulalah yang memunculkan empat pertanyaan yang ke-empatnya dijawab langsung oleh Gurutta Ahmad Karaeng, seorang tokoh sentral. Di sini saya tidak untuk merensi novel ini melainkan cuma ingin mengabadikan dialog-dialog yang diucapkan oleh beberapa tokohnya. Dialog-dialog yang menurutku mengajariku tentang hidup. Bahwa hidup tak butuh kebencian, sebab kedamaian hati ditemukan pada kata maaf yang sesungguhnya. Tentang sebuah kebencian, semua orang pernah mengalaminya, sebagian di antaranya memilih bertahan untuk membencinya, sebagiannya lagi meninggalkan (lari dari kenyataan) dan sebagiannya lagi memaafkannya. Pada tiga pilihan ini, sebagai orang yang membenci mereka berhak memilih salah satunya.. Setiap pilihan yang diambil tak terlepas terhadap risiko yang akan dihadapi, dan jawaban atas pilihan ketiga itu terjawab dalam novel ini, Rindu. Silakan membaca novel ini bila penasaran. ;)
**

“… lampu Kristal, kursi-kursi panjang. Telingaku masih mendengar gelak tawa di ruangan, denting gelas minuman keras. Aku tak bisa mengenyahkan ingatan itu, Gurutta.”

“Bagian yang pertama, kita keliru sekali jika lari dari sebuah kenyataan hidup, Nak… Tapi sungguh, kalau kau berusaha lari dari kenyataan itu, kau hanya menyulitkan diri sendiri. Ketahuilah, semakin keras kau berusaha berlari, maka semakin kuat cengkeramannya. Semakin kencang kau berteriak melawan, maka semakin kencang pula gemanya menantul, memantul, dan memantul dan memenuhi kepala.”

“Sayangnya, kau justru melakukan hal tersebut. Kekeliruan paling mendasar yang dilakukan orang-orang saat menghadapi kenyataan hidup, masa lalunya yang pedih…. Lari…”

“Kita tidak bisa melakukan itu, Upe. Tidak bisa. Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya…”

“Apakah mudah melakukannya? Itu sulit. Tapi bukan berarti mustahil…”
(Hal 311-312)

**
“Bagaimana caranya agar aku bisa memaafkan, melupakan, semua? Bagaimana caranya agar semua ingatan itu enyah pergi? Aku sudah lelah dengan semua itu, Gurutta. Aku lelah dengan kebencian ini.”

“Selalu menyakitkan saat kita membenci ssuatu. Apalagi jika itu ternyata membenci orang yang sehrusnya kita sayangi. Suami istri salinng membenci. Anak membenci orang tuanya, atau sebaliknya,…”

“Lantas bagaimana mengatasinya, setelah bertahun-tahun racun kebencian itu mengendap di seluruh tubuh kita? Bagaimana membersihkannya?...”

“Bagian yang pertama adalah, ketahuilah, Andi, kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri saat membenci orang lain. Ketika ada orang jahat, membuat kerusakan di muka bumi, misalnya, apakah Allah langsung mengirimkan petir untuk menyambar orang itu? Nyatanya tidak…”

“Ada orang-orang yang kita benci. Ada pula orang-orang yang kita sukai. Hilir-mudik datang dalam kehidupan kita. Tapi apakah kita berhak membenci orang lain?.... tapi coba pikirkan hal ini. pikirkan dalam-dalam, kenapa kita harus benci? Kenapa? Padahal kita bisa saja mengatur hati kita, bilang saya tidak akan membencinya. Toh itu hati kita sendiri. Kita berkuasa penuh engaturaturnya. Kenapa kita memutuskan membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci orang lain, kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri.”

“Bagian yang kedua adalah terkait dengan berdamai tadi. Ketahuilah, Nak, saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati.”

“…Maka ketahuilah, Andi, kesalahan itu ibarat halaman kosong. Tiba-tiba ada yang mencoretnya degan keliru. Kita bisa memaafkannya dengan menghapus tulisan tersebut, dengan apa pun. Tapi tetap tersisa bekasnya. Tidak akan hilang. Agar semuanya benar-benar bersih, hanya satu jalan keluarnya, bukanlah lembaran kertas baru yang benar-benar kosong.”
(Hal 372-376)

***
“Apa yang harus kulakukan? Hari itu, seluruh kesedihan menghampiri hatiku. Siapalah aku?...”

“Aku kalah. Aku berlari sejauh mungkin dari kota kelahiran kami….”

“Kau pemuda malang yang terpagut harapan, terjerat keinginan memiliki, dan terperngkap kehilangan seseorang yang kau sayangi, Nak. Tiga hal itu ada di dirimu sekarang. Harapan itu belum padam, sejauh apa pun kau pergi. Pun keinginan memiliki itu belum punah, sekuat apa pun kau mengeyahkannya. Dan terakhir, kehilangan itu justru mulai memujud dan nyata. Setiap hari, semakin Nampak wujudnya, semakin nyata kehilangannya.”

“Apakah cinta sejati itu? Maka jawabanya, dalam kasus ini, cinta sejati adalah melepaskannya. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya…”

“Lepaskanlah, Ambo. Maka besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu…”

“Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apa pun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya, Ambo. Kau siap menghadapi kenyataan apa pun…”
(Hal 490-493)

Komentar

  1. Huaaa bagus banget kata-katanya. Kayanya kita sama-sama penikmat kata ya, sayangnya aku ga pernah tulis begini. Ini ide bagus, boleh dicontek kan mba hehe? Jadi mau baca ceritanya :(

    BalasHapus
  2. Itu petikan dialog dari novelnya Bang Tere Mbak..
    Silakan aja. :)

    BalasHapus

Posting Komentar