15 Maret. Janjimu. Juga janjiku. Janji kita bersama.
Ketika mengintip kalender di mejabelajar, angka itu tengah tersenyum menatapku. Tersenyum memberi kesadaran bahwa ada janji telah terikrar di sana. Setiap kali melirik kalender mataku tak pernah lepas dari angka itu. Tampaknya angka itu sakral. Selalu membuatku terjaga untuk segera melunaskan janjiku.
15 Maret. Janjimu.
Mulanya kau berkata diriku adalah Perempuan Mawar. Matamu menilik ada sosok bunga mawar dalam diriku. Saya setengah percaya, setengah ingin tertawa—ini lucu. Saya yang hanya sebagai penggila mawar sekadar iseng menyematkan nama itu. Namun kau sebagai seseorang memandangnya dari sisi berbeda.
“Sikap dinginmu melambangkan durinya.” Ujarmu.
“Lalu?”
“15 Maret..” jawabmu.
Katamu saya harus bersabar menunggu. Baiklah, saya menerima. Meskipun malam itu sesungguhnya pikiranku melayang; bagaimana kau akan melihatku dari sudut pandang bunga mawar. Bisa jadi merah melambangkan ketidakpedulianku terhadapmu. Bisa jadi kuning melambangkan kekecewaan yang terpendam. Bisa jadi.. ah, terlalu banyak praduga berseliweran. Maka saya akan menunggu.
Bila mengingat-ingat sudah lama kita berkenal. Tanpa sekali bertatap secara nyata. Kau yang di seberang hanya mengirim foto-foto tentang dirimu, bercerita tentang dirimu. Sekali-kali pula kau mengetuk pesanku dengan luskisanmu, hasil goresan-goresan pensilmu yang manis. Dan saya selalu menikmati apa saja yang kau kirim, walau foto dirimu yang secara sengaja kau jepret dengan gaya biasa—sekadar membuatku tertawa.
Selama itu pula, dalam perkenalan kita telah banyak gelombang menghempas. Kadang kita terbawa arus laut. Tapi sayalah yang berkali-kali terseret, namun tanganmu selalu terulur demi menyambutku. Merengkuhku kembali. Betapa kau menjadi seorang peri. Bukankah, saya sering memanggilnamamu Peri Garbera dan kau hanya tertawa lepas.
15 Maret. Janjiku.
Ah, tampaknya dalam tulisan ini, saya terlalu banyak bercerita. Di sela-sela menyelesaikan satu tulisanku, saya berpikir apa yang mesti saya tulis untukmu. Tiba-tiba suaramu memantul mengingatkan bahwa saya harus menuliskan kau dalam sudut pandang bunga Daisy. Saya tidak tahu harus bagaimana cara menemukan akrasa untuk mulai merangkai kata. Maka kuputuskan membuka rekaman hasil suaramu yang bernyanyi. Barangkali saja dengan mendengarnya saya bisa mendapat sesuatu.
Daisy. Jari-jariku lebih memilih menulis namamu; Peri Garbera. Bagaimana bisa saya melanjutkan bila begini jadinya. Justru namamulah tertulis pertama. Saya hanya mengenal daisy dari sebatas ungkapan, cinta yang tersembunyi. Barangkali begitulah wujudmu yang kugambarkan, seseorang yang tersembunyi. Yang ketika saya terjatuh tangannya yang lebih dulu menggenggamku. Kau tahu jalan-jalan pintas untuk keluar dari kesesatan kesedihan. Kau tahu jalan-jalan menuju dermaga kebahagiaan. Karena itulah hatimu menyandang ketulusan dari kelopaknya yang putih.
Ah, tampaknya tulisan ini harus kuakhiri setengah hati. Masih banyak hal yang perlu kutambahkan. Besok lusa akan kulengkapi tulisan ini.
Janjimu. Janjiku. Janji kita berdua, telah kulunasi hari ini.
Flo.
Komentar
Posting Komentar